Judul
Buku
: Man of Honor
Penerbit :
PT Gramedia Pustaka Utama
Penulis :
Teguh Sri Prambudi dan Harmanto Edy Djatmiko
Jumlah
Halaman : 689 halaman
Isi
Sinopsis :
Tjia
Kian Liong merupakan anak ketiga pasangan dari Tjia Tjoe Bie dan Tan Hei Lan dari
7 orang bersaudara (Tjia Heng Hwa ,Tjia Kian Tie, Tjia Sioe Hwa, Tjia Tjoey
Hwa, dan si bungsu Tjia Kian Joey). Lahir pada tanggal Desember 1922 dan tumbuh
besar didaerah Majalengka bersama keluarganya. Pada saat itu ayah Liong, Tjou
Bie memiliki bisnis mobil angkutan jurusan Cirebon-Bandung. Saat Liong berumur
12 tahun, ia ditinggal kedua orang tuanya pergi untuk selama-lamanya. Ia
kemudian menjadi tulang punggung keluarga karena ia merupakan anak laki-laki
tertua di keluarganya. Untuk dapat menghidupi keluarganya, Liong melakukan
berbagai cara dengan berbisnis, seperti kertas, kain tenun, minyak kacang,
beras, serta gula.
Melihat
Bandung memberi kesempatan yang lebih baik, Liong kemudian pindah ke Bandung.
Di Bandung Liong bertemu Lily melalui organisasi Palang Merah Indonesia. Di
organisasi ini Liong bertemu dengan Lily seorang wanita yang menjadi pacar
adiknya yaiu Kian Tie yang nantinya akan menjadi istri Oom. Setelah mereka
menikah, Liong berganti nama menjadi William Soeryadjaya karena adanya
kebijakan pemerintah akibat Bandung Lautan Api.
Di Bandung inilah
perjalanan bisnisnya yang sebenenarnya dimulai. Liong mulai membangun sebuah
perusahaan yang diberi nama PT Sangabuana yang bergerak di impor muai dari
kertas, besi, alas beton yang dipasok untuk kebutuhan departemen. Mitranya di
perusahaan ini, mengkhianatinya dengan menyebarkan isu bahwa terdapat
penyelewengan yang dilakukan oleh William. Mitranya tersebut juga melakukan
persekongkolan dengan pihak pemerintah untuk menjebloskan William ke penjara.
Karena merasa tidak bersalah, maka William melakukan pembelaan. Namun William
pun tetap dijebloskan ke dalam penjara selama 1 bulan lebih satu minggu di LP
Banceuy. Dalam penjara ini, William banyak merenung terutama setelah menemukan
keberadaan Tuhan. Dia menjadi lebih percaya diri dan tenang dalam menghadapi
kehidupan.
Setelah keluar dari
penjara, William kembali untuk mencoba mencari peruntungannya dalam dunia
bisnis. Kali ini dia dibantu oleh adiknya Kian Tie yang kembali dari Amsterdam
setelah mendengar kakaknya yang tertimpa musibah. Mereka berdua memulai kembali
bisnisnya dengan mencari perusahaan yang memiliki lisensi untuk melakukan ekspor
dan impor. Kemudian setelah mereka mendapatkan perusahaan yang diinginkan, Kian
Tie mengusulkan nama “ASTRA” yang berarti bintang yang bersinar. Pada mulanya
perusahaan ini ditawari oleh PLN untuk membantu proyeknya dengan mengimpor
generator. Namun proyek ini pun menuai kerugian bagi William karena mengalami
kesulitan dalam kredit sehingg Astra mengalami kerugian yang cukup besar.
Akibat kerugian ini, Om
William sempat terpuruk. Om William pun memulai bisnisnya dari awal lagi.
Kondisi seperti itu membuat Om William menemukan bisnis baru yang sangat
potensial yaitu truck karena pada saat itu pemerintah sedang menggalakkan
pembangunan ekonomi sehingga dibutuhkan alat transportasi yang memadai. Astra
pun ditunjuk untuk menjadi pengimpor truk Chevrolet. Truk tersebut diimpor
dalam bentuk Semi Knock Down artinya sesampainya di negara importir, truk
tersebut harus dirakit lagi sehingga tantangan selanjutnya dari Om William
adalah mencari tempat perakitan. Akhirnya, Om William dapat melakukan perakitan
di PT. Gaya Motor karena negosiasi yang kuat dan bantuan dari Mr. Kamio dari
Jepang, yang merupakan mantan CEO di PT Gaya Motor. Proyek ini membuat Astra
menjadi terkenal dikalangan pengusaha Jepang. Astra pun dipercaya untuk
mengelola beberapa merk dari Jepang sehingga kesuksesan demi kesuksesan pun
bermunculan. Pabrik yang didirikan oleh Astra setelah itu adalah:
TAHUN
|
PERUSAHAAN
|
JENIS USAHA
|
1969
|
PT
Gaya Motor
|
Assembling plant Toyota
|
1971
|
PT
Federal Motor
|
Assembling plant Honda
|
1971
|
PT
Toyota Astra Motor
|
Dealer Toyota
|
1972
|
PT
Djaya Pirusa
|
Minyak pelumas / Alat kantor
|
1972
|
PT
United Tractors
|
Alat berat
|
1974
|
PT
Multi Astra
|
Assembling plant
|
1975
|
PT
Rama Surya Internasional
|
Alat teknik
|
1976
|
PT
Astra Motor Sales
|
Dealer Toyota
|
1976
|
PT
Astra Graphia
|
Distributor Fuji-Xerox
|
Terlepas
dari status sosialnya sebagai pemilik Astra International, Om dikenal sebagai
pribadi yang amat sangat dermawan. Beliau tidak dapat melihat seseorang
kesusahan atau memelas karena melihat hal itu, beliau teringat akan masa
kecilnya yang serba sulit. Om ingin melihat semua orang bahagia. Hal nyata yang
sering dilakukannya adalah membagi-bagi uang baik kepada karyawannya sendiri,
petugas kebersihan hote tempatnya menginap, pengemis dipinggir jalan, anak –
anak dipanti asuhan dan hampir semua orang yang ia jumpai juga kepada tamu –
tamu terhormatnya.
Para karyawan selalu
merasakan kehangatan pribadi Om William. Beliau sangat memperhatikan
karyawannya, mulai dari hal yang kecil misalnya memberi makanan kepada
karyawannya yang sedang lembur, makan siang bersama karyawannya, bahkan memberi
uang saku kepada karyawan yang pulang malam. Dengan sikap rendah hatinya
William mengajarkan pada karyawannya nilai – nilai yang ingin ditanamkannya di
Astra. Nilai – nilai yang ingin ia tanamkan selalu diwujudkannya dari sikapnya
sehari – hari sehingga karyawan dapat melihatnya secara langsung. Suasana
kekerabatan dan kekeluargaan selalu berusaha dijalin oleh Om William baik
diacara yang sengaja diadakan seperi POR maupun dikehidupan sehari – hari.
Meskipun Astra merupakan perusahaan swasta, Om William aktif menanamkan cinta tanah
air kepada karyawannya dengan sering melakukan upacara pada hari – hari besar
kenegaraan. Nilai – nilai inilah yang ingin diterapkan oleh Om William di
Astra.
Awal tahun 1982, Astra
mulai melakukan perumusan terhadap nilai – nilai Astra atas usul Gery Kasih.
Menurut Gerry yang baru kembali dari University of Southern California (USC),
sosok William harus diganti dengan sesuatu yang lebih eternal yaitu, corporate
philosophy. Hal ini dimaksudkan agar saat Om William sudah tiada, nilai –
nilai yang ia ajarkan tetap menjadi jiwa dari perusahaan (living values).
Sejak Januari 1982
hingga Desember 1982 dan setelah melewati berbagai pertemuan oleh para petinggi
Astra, tepat di hari ulang tahun Oom yang ke-60, corporate philosophy disetujui
yang isinya sebagai berikut :
1. Bermanfaat
bagi Bangsa dan Negara (to be an asset to the nation)
2. Pelayanan
terbaik bagi pelanggan (best service to customer)
3. Saling
menghargai dan membina kerjasama (respect for the individual and
development of teamwork)
4. Berusaha
mencapai yang terbaik (strive for excellence)
Kelak,
melalui proses-proses selanjutnya,orang mengenal ke-4 falsafah itu sebagai
Catur Dharma. Nilai-nilai yang diharapkan akan selalu diaktualisasikan oleh
seluruh keluarga besar Astra. Untuk mewujudkannya, selain melalui pembentukan
Yayasan Dharma Bakti Astra (YDBA) dan Astra Mitra Ventura (AMV), setiap gerak
bisnis Astra pun harus mencerminkan dharma tersebut. Dalam memilih binis yang
akan diterjuninya, misalnya, Astra tidak boleh masuk ke dalam bisnis yang
berpotensi merusak moral masyarakat seperti perjudian, kasino, dan sejenisnya.
Astra juga tidak terjun ke bisnis yang berpotensi menggiringnya terlibat dalam
konflik politik seperti bisnis media massa.
Om
menginginkan Astra menjadi go public sehingga Astra akan
menjadi entitas bisnis yang keberadaannya selalu menjadi concern semua
pemangku kepentingan: pemegang saham, karyawan, pelanggan, negara, masyarakat,
dan para pejuang lingkungan hidup. “Tapi saya mau kalau Astra go public,
mesti yang real, bukan main-main. Yang dimaksud William sebagai real
public company bukan semata menjual saham ke publik, tapi perusahaan
yang dikelola profesional, transparan, dan melindungi kepentingan pemegang
saham, baik mayoritas maupun minoritas. Bukan sekadar go public untuk
meraup dana masyarakat belaka. Go public, bagi Astra, adalah
masalah yang sangat serius dan krusial. Intinya, ketika go
public, yang dipertaruhkan suatu perusahaan adalah kepercayaan. Dalam
bisnis, tidak ada satu modal yang lebih berharga dibanding kepercayaan.
Dibutuhkan waktu puluhan tahun untuk membangun kepercayaan, tapi bisa dalam
hitungan menit untuk menghancurkannya.
Jakarta, Senin, 25
Februari 1980. Terdapat pertemuan di Hotel Indonesia Sheraton yang dihadiri oleh
Pengusaha–pengusaha dari Perusahaan Swasta. Acara ini dihadiri oleh banyak
pengusaha hebat dan pengusaha terkaya di Indonesia salah satunya Oom William.
Diantara pengusaha hebat itu terdapat Prajogo Pangestu seorang pendatang baru
di dunia bisnis. Tak hanya Prajogo tetapi terdapat pula Sofjan Wanandi yang
berpendapat mengenai William yang memiliki rasa solidaritas dan jiwa sosial
yang sulit ditandingi yaitu mengenai pemberian gratisnya sebidang tanah untuk
dibangun Kampus Prasetiya Mulya.
Tanggal
20 Februari 1992, adalah hari istimewa bagi keluarga besar Astra, di usianya
yang ke-35 tahun ini menjadi mulai proses berakhirnya hubungan antara William
dengan Astra karena tersangkut masalah Bank Summa. Pasca lepasnya Astra dari
tangan Oom William, keadaan perekonomian keluarga berubah secara drastis.
Permasalahan yang dihadapi juga belum berakhir karena terdapat dana–dana dan
hutang yang belum terlunasi akibat permasalahan Bank Summa. Hal ini membuat
William untuk memulai bisnis lagi dari nol karena bisnis Astra yang digelutinya
dari nol itu telah sirna. Apalagi Om juga harus menyelesaikan utang – utangnya.
Menginjak
usia yang semakin tak bersahabat ini membuat performa bisnis Oom William
semakin berkurang. Namun hal itu tak menyurutkan bisnis barunya dan semangat
karyawannya yang semakin mengebu–gebu. Kondisi kesehatan William semakin lama
semakin menurun seiring berjalannya waktu ditambah lagi terjatuhnya William
saat di Bandara Changi yang membuat William menjadi tak bisa berjalan dan
terpaksa harus menggunakan kursi roda. Keadaan ini membuat William menjadi
terbatas dalam bekerja dan keinginannya untuk tetap sibuk di bisnisnya semakin
berkurang. Namun karyawan William selalu berusaha dan membantu William untuk
tetap ada kesibukan dalam keadaannya seperti ini, jika William hanya berdiam
diri itu membuat kesehatannya semakin menurun.
Pada
tanggal 21 April 2010 tanda-tanda kehidupan dari William telah tiada, William
tutup usia menjelang usia 88 tahun. Banyak rekan bisnis, dan berbagai pihak
yang mengenal William sangat merasa kehilangan sesosok orang yang mampu
mengimplementasikan visi jauh kedepan dan menyeimbangkan kehidupan sosial dan
religius sehingga menjadi teladan dan kebanggaan negeri ini. William pernah
kehilangan harta yang luar biasa besarnya. Namun dia tak pernak kehilangan rasa
sayangnya. Kepekaan serta empatinya tidak pernah luntur dalam segala cuaca.
Itulah yang membuat nya menjadi orang yang dihormati
Membaca buku membuat
kita akan merasakan dan melihat sebuah perjalanan hidup orang yang tulus
hatinya. merasakan semangat hidupnya, kebaikannya, ketegasannya dalam memimpin,
dan kecintaannya terhadap negara. Beliau selalu memajukan bisnisnya demi
perkembangan negaranya. Beliau tidak pernah memikirkan keuntungan bisnisnya
hanya untuk dirinya sendiri.
Sebagai seorang yang
masih muda, saya menjadi tertegun dan berpikir, "Adakah saya sudah berguna
bagi bangsa ini?"
No comments:
Post a Comment