Pages

Saturday, 22 November 2014

Abnormalitas



Sejauh ini semua normal. Aku termasuk siswa yang diingat guru, kata guruku yang paling diingat guru adalah siswa yang paling baik dan pintar atau siswa yang paling nakal dan suka buat onar. Tentu sang pembuat onar bukanlah julukan yang tepat buatku karena sepi adalah teman terbaikku.
Hanya satu hal terpenting buatku, membahagiakan kedua orang tuaku dan mendapatkan nilai yang baik. Entah itu satu atau dua karena keduanya saling bersimbiosis, terhubung tanpa alasan. Aku mencintai orang tuaku tanpa syarat, bukan berarti harus selalu patuh pada mereka namun aku selalu ingin membahagiakan mereka disetiap aspeknya. Bahkan ketika ibuku berkata fokuskan dulu untuk sekolah masalah cinta nanti saja, jawabku dengan patuh, ya.
Sejauh ini semua normal, bergaul dengan laki – laki hal yang wajar buatku, tidak dengan perempuan menurutku mereka merepotkan. Kenormalan itu menjadi hal yang aneh, mungkin karena aku saja yang yang menggapnya normal sementara mereka tidak.
Hidup itu normal dan biasa. Sepi itu teman terbaik. Cukup. Sudah baik.
Piano menjadi bukti, hidup adalah warna, ia merupakan rangkaian nada yang tak pernah putus, mendayu. Mungkin membekas dihati, mungkin menusuk – nusuk pikiran, mungkin membawa semua beban terangkat, mungkin juga hanya lewat. Entah boleh pilih yang mana, semua bebas. Banyak sedikit pilihan itu disediakan sang pianis, ia menjentikkan jari dengan lembut, keras, penuh emosi atau tak bersemangat.
Pilihanku untuk membawa sang pianis bersamaku.
Ledakan nada dalam tenangnya dawai piano yang berdenting, membawa alam bawah sadarku menyadari luapan emosi itu, entah marah, sedih, yang paling jelas sang pianis memainkan deretan nada mayor yang lincah. Di sudut ruangan aku termangu sendiri, terisolasi bagai berada di dua dunia yang berlainan. Hanya ada dia dan diriku. Namun sekat padanya lebih tebal, eksistensiku nol, tidak terjamah, mungkin aku berada di dimensi lain.
Semua berawal dari nada mayor itu.
Senyum sumringah selalu kutahan ketika bertemu dengannya, namun ia tak pernah menahan senyum lebar itu daripadanya, ia biarkan menyinari sedikit waktu pagiku yang cenderung kelabu. Dentingan hai ringan terdengar bersamaan sinar hangat wajahnya. Tak sanggup terlalu lama aku memandangi wajah itu.
Ada apa ini? Dia laki – laki, dia normal, cukup normal, cukup biasa.
Hanya ada satu perempuan yang menerimaku, menyadari adanya ke-aku-anku, dan cukup mengerti aku. Tak perlu aku dimengerti oleh siapa pun, sepi sudah cukup mengerti, sejauh ini masih normal. Sebaris kalimat “ temani aku hari ini berlatih paduan suara”, kembali membawa takdirku kepadanya. Oh ya? Takdir kah? Detik inipun baru percaya aku dengan takdir.
            “Hai, Di”, sapa mentari siang tanpa menyengat kulit
            Senyum gugup dan semu merah di pipi, dua jawaban yang mampu kuperlihatkan, yang kuharap itu cukup. Kata sahabatku, ini namanya cinta. Bagaimana mungkin hanya senyum gugup dan pipi merah yang merepresentasikan cinta, tidak dapat diterima, tidak masuk akal, dan tidak normal. Lagipula ia...... ia seminaris1, perwujudan cinta semua umat, tidak mungkin aku dan ke – aku – an ku memilikinya, tidak pantas. Membayangkan saja pun sudah hina.
            Katanya cinta seperti investasi, ditanam sedikit – sedikit, akan terasa untungnya di saat yang tepat. Katanya juga seperti menanam bunga mawar, pupuki dan sirami dengan rutin barulah bunga itu akan berkembang dengan indah.
            Mungkin ini memang takdir, sejak kapan aku percaya adanya takdir, akupun tak tahu, hingga suatu hari sang pianis mengajakku belajar bersama. Biologi, topik hangat yang selalu diperbincangkan, menghafal nama organ tubuh dan menghafal nama latin binatang menjadi frekuensi yang sama dari perbedaan kami. Papilioninae kesukaannya, selalu digambarnya dimana pun – buku catatan, buku cetak – serta kapanpun – saat menunggu, saat tebengong, maupun saat kagum.
            Takdir yang tidak disangka namun menyenangkan. Sejak itu lebih sering ada seringai mentariku di pagi hari, lebih sering wajahku bersemu merah akibat menyembunyikan senyum sumringah itu. Lagi kata sahabatku, itulah cinta, jatuh cinta, yang katanya juga berjuta rasanya. Benar.
            Tetapi dia seminaris, hidupnya untuk umatnya, harusnya aku mendoakannya tetap berada di jalan Nya.
            Sudut hati berkata kehilangannya menjadi petaka, sementara nurani berbisik halus dia tak akan hilang walau direlakan. Sudut senyum mentari pagi memang hangat menyengat dan kadang juga menyayat. Denting senar pianonya menyuarakan hatinya.
            Nada mayor lagi warna hari ini, ah tapi kesan minornya lebih banyak tampaknya. Keinginan memang tak terelakkan, sulit kehilangannya, nurani tetaplah jernih putih.
            “Ini untukmu,” katanya dari balik jendela , seperti biasa, cerah, hangat , berwarna.
            “Apa ini?” balasku, suara parau terkutuk ini membuatku menyesal sepanjang masa.
            “Bacalah,” nada ringan bersahaja, sungguh indah.
            Kertas buku penuh coretan itu, kisah pujangga mencari kata. Kubaca perhalan, tak kuasa menahan gejolak. Semoga kita bersama, puisi pujangga menemukan akhirnya.
            Bukan, ini pasti untuk wanita dengan suara merdu itu. Sahabatku tidak ambil diam, kemudian memberiku wejangan dalam. Pujangga telah menuliskan penanya, merayu gadis hatinya, pianis menjentikkan jari merangkai lagu mendayu buat si manis. Beribu alasan masuk ke dalam daftar, apa yang membuat nurani berkutat dan hati bertindak.
            Cukup sudah. Menimbang menjadi lelah jika tidak kunjung seimbang.
            Pikiran logis tidak mampu mencapai batas ilahi, ketika nurani bisa mencapai batas, hati menyerah ikhlas. Kamu milik – Nya, bukan hak manusia. Aku bukannya mengalah, aku hanya ingin mengalah.
            Hari itu papilio polymnestori keluar dari sela bunga – bunga taman. Keindahannya dapat kutangkap pula dalam gradasi pensil di atas kertas putih. Memandangi sudah cukup membuatku bertemu denganmu, membaca ulang syairmu, kembali memandangi kupu – kupu cantik yang beterbangan. Ah andai memang syair itu untukku, sedikit rangkaian nada untukku, sungguh aku sudah bahagia.
            Setelahnya, aku tidak pernah normal. Meski kini mentari pagiku sama dengan mentari pagi semua orang, hangat yang sama, cerah yang sama. Kicau burung pipit menjadi bagian dari penyemangat hati, sudah cukup. Merapal nama latin pohon, menjadi kenangan tersendiri. Belajar mendentingkan piano menjadi tak terlupakan. Sungguh rindu suasana sudut ruangan itu serta obrolan ringan dalam tanpa kata, hanya kau dan aku.
            Sore cerah tanpa awan, ditambah angin sepoi yang membawa sejuta ceritaku. Semoga satu dua orang mendengar cerita itu, karena tidak pandai aku menulisnya dalam sajak maupun rangkaian kata. Aku percaya, cerita angin akan terdengar oleh orang – orang yang memang ingin mendengar, dan kuharap mentariku pun mendengarnya.
            “Hai,” senyum singkat pemilik suara tergambar jelas dari sepotong kata sapaan lumrah itu.
Dia duduk di sebelahku tanpa kata, dia sudah tahu aku akan senang hati, meski kadang senang hati itu memang harus disembunyikan. Mataku memandangnya singkat, kembali menatap lurus, tapi sudut mataku tetap memandangnya dengan khidmat, teliti, cermat. Beruntungnya wanita.
            Kami menatap titik yang sama, menyatu di titik itu. Dia bercerita keresahan dari setiap hela nafasnya. Kecemasan, kesedihan dari kerut matanya. Nada tidak ikhlas dalam gerakan tiap nadinya. Bukan lagi rahasia, prestasinya menurun drastis, entah kenapa. Aku tidak mau besar kepala, tentu bukan karena aku tak lagi bersamanya menghafal jenis vertebrata. Aku tak ingin tersenyum saat ini, pada jarak sedekat ini terasa sungguh menyakitkan. Dia berlalu, pergi ke tempat partner setianya. Rangkaian nada ini, inilah dia saat ini. Kuharap angin pun bisa membawa tetesan air mata, sekarang juga.
            Musim berganti, tak perlu ia mengumumkannya terlebih dahulu, semua orang sudah tahu dan tidak pula ada yang protes mengharap musim lebih. Kuharap pergantian musim ini bukanlah pergantian semuanya. Sayang sekali, kali ini semua berganti, berputar cepat hingga tidak kusadari. Tak ingin aku mengakui itulah rangkaian nada terakhir dari sang pianis, senyuman kecil hangat terakhir dari mentari,  syair singkat riang terakhir dari sang punjangga.
            Ku memandangi punggungnya dari sudut ruangan tempat kami biasa berkomunikasi. Cukup jauh untuk disadari, hanya saja aku ingin percaya bahwa dia menyadari hadirnya denyut kecil dalam nadinya, denyutku. Dia berbalik dalam keramaian, memandangiku, mataku. Cahaya dua buah kelereng bulat memantulkan segenap senyum mentariku. Cahaya itu tidak untuk perpisahan..





Catatan:
1Kata seminari berasal dari kata Latin `semen' yang berarti `benih atau bibit'. Seminari berasal dari kata Latin `seminarium' yang berarti `tempat pembibitan, tempat pesemaian benih-benih'. Maka, seminari lalu berarti: sebuah tempat [tepatnya sebuah sekolah yang bergabung dengan asrama: tempat belajar dan tempat tinggal] di mana benih-benih panggilan imam yang terdapat dalam diri anak-anak muda, disemaikan, secara khusus, untuk jangka waktu tertentu, dengan tatacara hidup dan pelajaran yang khas, dengan dukungan bantuan para staf pengajar dan pembina, yang biasanya terdiri dari para imam / biarawan. Adapun kata `seminaris' menunjuk pada para siswa yang belajar di seminari tersebut. (sumber : http://yesaya.indocell.net/id766.htm)

No comments:

Post a Comment

Subscribe to our newsletter