“Saat kelas 3 SMA dimulai, tahun terakhir
dari pendidikan formal, semua orang dewasa menanyakan apa yang menjadi mimpimu.
Dan aku menjawab: tidak tahu”
Kira – kira begitulah, prolog dari
sebuah anime yang saat ini sedang aku tonton. Bakuman judulnya. Ditulis oleh
Tsugumi Ohba dan ilustrasi dibuat oleh Takeshi Obata.
Cerita ya sedikit soal Bakuman.
Bakuman adalah anime yang
menceritakan tentang mashiro moritaka. Seorang siswa biasa, yang dulu waktu
kecil memiliki cita – cita untuk menjadi mangaka karena pamannya adalah seorang
mangaka juga. Dia selalu menemani pamannya membuat manga, ikut membuat manga
dan berlatih menggambar dengan semangat yang membara. Namun tiga tahun yang
lalu pamannya meninggal. Sebab dari kematian pamannya tidak pernah diberitahukan
kepadanya. Namun Ia mengambil kesimpulan bahwa pamannya bunuh diri karena manga
karyanya tidak laku di pasaran. Sejak itu, Moritaka pun lebih memilih menjadi
siswa biasa dan menempuh pendidikan lanjutan seperti biasa kemudian menjadi
karyawan biasa.
Namun, suatu hari, Takagi Akito,
teman sekelas dari Moritaka sekaligus siswa dengan nilai terbaik, menyadari
bakat menggambar Mashiro. Takagi mengajak Moritaka untuk menjadi seorang
mangaka sementara dia sendiri bertekat untuk menjadi seorang penulis. Namun Moritaka
sempat menolak karena trauma akan kejadian pamannya. Takagi pun mengetahui
kelemahan Moritaka, yaitu bahwa ia menyukai Azuki, seorang cewek cantik
dikelasnya dan tampaknya Azuki pun menyukai Moritaka. Di lain sisi, Azuki
bercita – cita menjadi seorang seiyuu, pengisi suara dalam anime. Hal inilah yang
dimanfaatkan oleh Takagi.
Mereka memutuskan untuk mendatangi
rumah Azuki. Di depan Azuki, Moritaka berjanji akan menjadi seorang mangaka
yang terkenal diseluruh penjuru dunia. Azuki mengajukan satu syarat bahwa
sebelum Azuki menjadi seiyuu terkenal dan Moritaka menjadi mangaka yang
terkenal, mereka tidak akan berbicara satu sama lain. Akhirnya, Moritaka
bertekat untuk menjadi mangaka terkenal dan perjalanannya pun dimulai dari
sini.
Prolog anime ini bikin sedikit
terenyuh. Moritka menyadari passion sejak masih SMA. Sementara aku saat
ini..aku pun belum meyadari kemana harus melangkah selanjutnya.
Yang jelas, menjadi seorang pekerja
bukanlah tujuan hidupku. Apapun yang aku lakukan aku ingin bebas.
Saat – saat berada di gunung merupakan
saat yang paling menyenangkan. Tujuan ada didepan mata, yaitu puncak. Namun seberapa
lama kita mencapai tujuan itu, semua tergantung diri sendiri, tergantung
kemampuan, tergantung tekat dan niat. Waktu adalah milikku. Aku bisa
memanfaatkannya dengan baik atau membuangnya dengan sia – sia. Tidak terpengaruh
oleh target – target orang.
Dan nasehat dari om walt Disney diataslah
yang membuat aku semakin sadar.
Pernah suatu kali, aku berkata
kepada ibu dan bapakku bahwa aku ingin berjualan saja. Mereka menanggapi, bahwa
membuka usaha tanpa ada cadangan pekerjaan adalah sesuatu yang gegabah. Hah? Bagaimana
jika aku berkata bahwa sebenarnya aku tertarik menjadi seorang novelis?
Ya ada benarnya tanggapan kedua
orang tuaku itu. Tapi..kalau tidak focus pun maka hasilnya tidak akan maksimal
bukan?
Melihat teman – temanku satu
angkatan, beberapa dari mereka mengambil jalan yang berbeda. Menurutku mereka
orang – orang yang hebat saat kuliah dulu. Selain cerdas juga berani. Ada membuka
usaha ayam bakar, menjadi motivator. Tentu sama seperti aku, pasti kedua orang
tua mereka menanyakan mengapa tidak menjadi perkerja saja, mendapat gaji setiap
bulan, hidup berkecukupan dan mengejar karir. Namun jawaban mereka pasti tanpa
menjadi seorang pekerja pun, saya bisa memiliki uang yang lebih besar. Mereka
sudah menemukan passion mereka.
Ingat: Passion
is not what are you good at but what are you enjoy the most
Memang, sudah cukup untuk selalu
ragu. Sekarang saatnya menjalani apa yang aku yakini.

No comments:
Post a Comment