Berawal dari sakit pinggang yang
kadang sering aku rasakan, sebenarnya juga berawal dari malasnya masuk kerja di
hari senin, akhirnya aku memutuskan untuk berobat ke rumah sakit St. Carolus di
awal minggu di awal bulan November 2014.
Menurut hasil surveyku dengan
berselancar di mbah google, sakit pinggang itu bisa merupakan sebuah efek dari
penyakit lain, ginjal misalnya. Bagaimana gak ngeri melihat fakta itu,
sementara dokter spesialis kebanyakan menulis untuk segera memeriksakannya ke
dokter. Ya, akhirnya aku ke dokter hari Senin itu. Dokter itu praktek di Rumah
Sakit St. Carolus, tidak ada alasan khusus ke dokter itu, hanya saran ibu.
Perlu diperhatikan kata rumah sakit
itu, dengan catatan bahwa aku anti sekali dengan rumah sakit. Rumah sakit identik
dengan penyakit, tua, kritis, UGD, dan kematian. Kemudian bau obatnya yang
menyeruak dimana – mana, sangat bikin pusing kepala. Tapi apa boleh buat. Berbekal
tanya sana – tanya sini, berhubung aku sama sekali belum pernah berhubungan
dengan yang namanya rumah sakit, akhirnya aku bisa bertemu dokternya. Antre dulu
tentu, tidak ada yang muda sepertiku, rata – rata sudah berumur dan bahkan ada
yang sulit berjalan.
Ketika melihatku dokter itu pun
agak terkejut, memeriksaku sebentar dan selebihnya kami hanya bercerita tentang
kesukaanku naik gunung yang mungkin menjadi penyebab sakit pinggang itu. Aku disuruh
menjalani fisioterapi dan cuti dulu dari kegiatan gunung menggunung itu. Cukup
fair.
Hari itu juga aku menjalani
fisioterapi. Ketahuan sekali aku pemula disektor perpasienan di rumah sakit. Gagap
bertanya karena tidak tahu apa yang ditanyakan, belum punya kartu berobat dan
lainnya. Hadehh..
Klinik fisioterapi berada persis di
depan UGD. Bentuknya memanjang, terdapat banyak bilik, ruang tunggu yg tidak
begitu besar dan kasir sekaligus resepsionis. Ada pula alat terapi dibagian
dalam. Ada lantai dua juga namun tak tahu aku apa yang ada di sana.
Kesan pertama ketika tiba di sana,
tenang, damai dan ramah. Semua sungguh baik, terapisnya, kasirnya. Semua seperti
berkeluarga. Mereka sangat terlihat senang menjalani pekerjaan mereka, penuh
cinta dan tulus. Aku tersentak sebentar. Sedih ketika berkaca ke diri sendiri. Senangnya
jika bekerja itu senang. Sungguh, mereka terlihat sangat ikhlas.
Ada seorang pria, yang sampai
sekarang aku belum tahu namanya, ia begitu tulus melayani orang – orang tua
yang berobat, menggandeng tangannya dengan penuh kasih seperti menggandeng
ibunya sendiri. Mungkin ia masih muda. Pernah beberapa kali pemuda itu melayani
aku, kami berbincang sebentar. Baru bekerja setahun lebih sedikit di sana, tapi
tidak ada tanda kejenuhan diwajahnya. Berbeda dengan diriku sendiri. Ah…aku
mulai mencari – cari arti kata “bekerja”
itu sendiri, buat ku.
Untuk apa aku bekerja.
Gaji, jabatan, segalanya? Bukan..
aku tidak ingin menjadikannya segalanya.
Balik sebentar ke masalah
fisioterapi. Terapi pertama yang kujalani adalah dengan alat pemanas. Bagian –
bagian yang sakit dipanasi alatnya namanya aku lupa. Tapi kata terapisnya,
panas itu hanyalah efek dari gelombang yang dikeluarkan oleh alat. Selanjutnya adalah
alat tens. Serupa digetar namun tidak digetar, lebih terasa seperti dipijat,
untuk menutup titik – titik yang sakit, itu kata pemuda baik tadi. Setelah tiga
kali terapi, ditambah dengan pemancaran ultrasonic, sebelumnya bagian yang
sakit dikasih gel. (Oh iya, aku sempat kaget ketika terapis berkata bahwa
dokter itu menyerankan 10 kali terapi padahal pikirku terapi hanya dilakukan
dua atau tiga kali..ya ampuunnnn)
Pengalaman lucu dan mengesankan. Lain
kali akan aku cari tahu tentang alat – alat fisioterapi itu. Klinik ini, selain
memberikanku pengobatan jasmani, juga rohani. Aku menemukannya, kerjarlah mimpi
itu. Jangan menyerah. Pasti J . Terima kasih mas yang belum diketahui
namanya J
No comments:
Post a Comment