Pages

Tuesday, 31 December 2013

Sudut Beku


#nuliskilat by Bentang & PlotPoint
“Cinta bukan sesuatu yang menghendaki kenikmatan untuk dirinya sendiri. Cinta tidak ingin memiliki, tetapi melepas dan membebaskan. Cinta tidak ingin menguasai tetapi membiarkan diri terbuka pada sesuatu yang lebih besar dari perasaan cinta itu sendiri”[1]
“uhuk uhuk…” Reima tersedak ketika membaca kalimat itu.
Getar ponsel Nokia 1100 miliknya mengagetkannya dan buyarlah semua lamunannya. Setelah membuka pesan masuk ia segera membereskan buku yang dibacanya dan bangkit dari tempat tidur kesayangannya. Ada janji yang hampir ia lewatkan hari ini.

***
“Woi..sudah lama tidak ketemu.” Dengan santainya Adit menyapa Reima yang sedang termaungu disudut Mc Café Kelapa Gading.
“Lama banget nungguin kamu maksudnya!!!!” bentak Reima sambil pura – pura marah kepada kawannya itu.
“Adit tuh. Kelamaan dandannya.” sahut Surya.
“Ya ampun, Ma. Jakarta macetnya ampun – ampun deh kalau hujan. Lagipula kayak gak tahu kebiasaan kita aja. Sudah berapa lama sih kamu bareng kita. Kamu terlalu on time Hahahahhahaha.” ejek Adit dengan muka jenakanya.
Reima hanya mampu mendesah. Prinsip on timenya tidak akan berlaku untuk kawan – kawan terbaiknya ini.
“Arif mana ni. Yang ngajak siapa yang telat siapa.” Surya menggumam tanpa arah dan tujuan.
Hujan awal Desember membasahi jalanan Jakarta namun sama sekali tidak mengurangi kebisingan kota. Lagu – lagu Natal mengiringi dengan indah tiap tetes hujan yang jatuh. Membasahi tanah yang basah. Menyegarkan hati yang kering. Pantulan sinar lampu mobil disetiap kubangan air membawa parade masa lalu yang kian nyata. Bersama teman – temannya, Reima merasa malam ini menjadi malam yang sangat menyenangkan untuk memulai satu bulan dipenghujung tahun ini.
“Ah, lembaran baru pun akan dimulai lagi. Tahun ini, lukisanku baguskah?” bisik Reima dihatinya.
“Wuidiiihhh….sudah sabtu malam pertama di bulan Desember. Hehehehe.”
“Dasar jomblo. Bilang malam Minggu aja Sabtu malam. Hahahaha.”sahut Arif yang baru datang. Bajunya basah kuyup kena hujan.
“Lah lo jomblo juga kan?” bela Adit.
“Lah cowok santai kali. Hahahaha. Sebentar lagi tahun baru. Mau ngapain kita?”
Surya yang sejak tadi hanya tertawa – tawa melihat aksi kucing dan tikus itu, mulai bereaksi “Mesti ada resolusi tahun baru dong.”
“Apa yaaa..Punya pacar!! Wajib!! Mesti!!”
“Ya ampun..gak penting banget itu mah.” Reima berkata sambil cengengesan.
“Tuhkan kamu gitu sih Rheima. Masa cewek gak kepikiran mau nikah kapan. Umur kamu berapa sekarang. Pertengahan tahun depan sudah 22. Cewek tuh ya harus nikah cepet.” Celoteh Arif dengan bawelnya.
“Kalau perbandingannya umur, harusnya kalian dulu yang punya pacar. Kan lebih tua,” balas Reima, tidak rela untuk mengalah.
“Yeee bukan begitu. Emang kamu nyari yang kayak gimana deh, Ma?” Tanya Adit yang selalu menjadi orang yang paling bersemangat ketika ada suasana yang  memojokkan Reima.
“Hmmmmm…gimana ya.” Reima cuma menyeringai ringan.
Namun, seringai itu tidak sama dengan perasaannya yang kering dan berat. Bagi Reima amat sulit untuk melupakan orang itu. Amat sangat.
“Apa yang kurang dari kamu, sih? Banyak lho yang nungguin kamu, Ma. Kamu aja yang gak mau milih. Kita juga ada kok. Tinggal bilang mau aja. Siap semua kita. Hehehehe” Adit terkekeh diikuti tawa yang lainnya termasuk Reima.

Parade masa lalu kian jelas dimatanya seraya hujan semakin bernafsu membasahi tiap celah tanah Jakarta yang sudah tertutup aspal.

***
Pernahkah kamu mencari?
Biar kutebak.
Pasti tidak pernah
Kuharap tidak dan kuyakin tidak       
Aku selalu berada disudut tersempit hatimu
Kau takkan temukan aku
Aku bersembunyi bukan untuk ditemukan
Melainkan untuk selalu tinggal
dalam sudut tersempit itu

***
“Ma, jalan yuk besok. Temenin aku.”
“Kemana?”
“Ke pameran komputer di JCC. Aku mau beli hardisk.”
“Hmmm…kapan?” Reima mulai menoleh kepada orang yang mengajaknya berbicara.
Cowok ini - tinggi, putih,kurus - hanya itulah kesannya dimata Reima. Tidak lebih. Saat ini, Reima sedang tersangkut kasus cowok ini dengan sahabat terbaiknya , Ega. Cowok ini, Ivan, suka dengan sahabatnya itu namun sifatnya yang kekanak – kanakan membuat sahabatnya risih. Entah darimana sifat kekanak- kanakan itu, Reima pun tak paham. Dia bahkan baru mengenal cowok ini sejak Ega dan Ivan bermusuhan. Entah kenapa mereka itu bermusuhan, Reima tidak tahu dan tidak peduli sebenarnya.  Sebelum kejaian itu, Reima bahkan tidak pernah menyadari kehadiran Ivan walaupun selalu mengambil mata kuliah dan dosen yang sama dengannya.

“Besok. Tadi kan sudah aku bilang.”
“Males ah kalau besok.” jawab Reima sambil melengos.
“Bantuin dooong. Bantuinnya setengah – setengah ni.”
“Memang aku pernah janji buat bantuin kamu ya? Kapan ya?”
“Ayolah”
“Sama siapa?”
“Sama aku. Siapa lagi?”
“Memang gak ada yang lain?”
“Hmm gak ada kayaknya. Ayolah, please,
“Oke” Reima menjawab dengan setengah hati.

Bangku – bangku kuliah yang kosong menjadi saksi, rengekan itu membuat Reima luluh. Reima belum pernah menerima ajakan cowok manapun setelah ia dicampakkan oleh pacarnya. Pandangannya terhadap seorang cowok telah benar – benar berubah sejak hubungan yang gagal itu. Cowok memang hanya cocok untuk bermain. Cowok yang dapat mengembangkan pribadinya dan menghargai perempuan akan menjadi seorang pria. Pria itulah yang layak untuk dijadikan seorang suami. Pria lah yang Reima cari. Menurutnya cowok hanya akan menambah goresan yang tidak penting dalam lukisan hidupnya.
            Esoknya Reima menjemput Ivan dengan motornya. Matahari tak henti – hentinya meradiasikan panasnya ke bumi. Dan bumi pun tak henti – hentinya menagkap raiasi itu. Hari yang sangat mengesalkan untuk bersepeda motor ke pusat kota. Gedung – gedung pencakar langit menghiasi setiap sudut jalan Sudirman hingga Thamrin. Jalanan padat merayap menambah gerah suasana. Rheima membayangkan betapa ramainya pameran computer itu. Percakapan ngalor – ngidul dimulai, sejenak panas itu pun lenyap digantikan oleh tawa renyah keduanya atau cibiran Reima.
“Karena kamu baik, jadi aku yang traktir hari ini.”
“Terserah.”
“Ternyata kamu beda dari Ega.”
“Memang ada yang bilang sama?”
Nggak. Cuma kamu sekilas memang terlihat mirip dengannya.”

Hening. Inilah bagian yang paling dibenci oleh Reima. Suasana panas warung bakso menambah gersang pikirannya. Moodnya turun dan saat seperti inilah, Ia bisa melakukan apapun. Mungkin ia akan pulang sendiri, mungkin ia akan iam selama perjalanan selanjutanya, mungkin ia akan secara langsung bilang bahwa ia tidak suka dibandingkan dengan sahabatnya itu. Bukankah setiap orang diciptakan dengan special oleh Tuhan, mengapa harus dibandingkan? Istilah “mirip” itu bahkan menghilangkan dirinya yang sesungguhnya. Apakah ini bagian dari sebuah pendewasaan? Atau hanya bagian dari ego yang ingin mempertahankan eksistensinya?
Topik ini, bagi Reima, memberi tamparan dibanyak sisi. Kemiripan antara Reima dan Ega bukanlah pendapat satu atau dua orang saja. Reima tertekan ketika dibilang mirip dengan Ega. Apa yang membuat orang berpikir bahwa mereka mirip? Bahkan Ega jauh lebih cantik, lebih anggun dan lebih terawat, tandas Reima dalam hati. Ega lebih mudah bergaul dan lebih popular. Memiliki suara yang bagus, dan sebagainya yang tidak Reima punya. Lalu apakah yang membuat kami mirip? Pikir Reima dengan keras. Stigma itu membuatnya kesulitan bergerak, seperti ada sebuah banyangan yang menjadi ruang geraknya.
 “Maaf kalau kamu tidak nyaman dibandingkan dengannya” kata Ivan memecah keheningan yang aneh itu.
“Hmm..tidak juga” jawab Reima datar. Reima berfikir bagaimana Ivan dapat menebak perasaannya yang sesungguhnya.
Hari itu mereka akhiri. Banyak hal yang belum diketehui Reima tentang Ivan. Demikian juga pandangan Ivan kepada Reima. Kedekatan mereka terus berlanjut beberapa bulan.
                             
*** 
Reima dalam sudut hatinya.

Belum pernah aku merasakan getaran ini. Tepatnya aku sudah mulai lupa bagaimana cara merasakan getaran itu. Getaran ini, terasa disudut. Kecil, namun perlahan dapat mengeruk karang – karang yang tumbuh dalam sudut kecil itu. Membangkitkan rasa yang indah dan merindukan, Aku mampu merasakan getaran itu hingga ubun – ubun kepalaku menyatu dengan seluruh jagad raya yang ada iatas sana. Aku mampu merasakan getaran itu hingga telapak kaki ku yang menyentuh tanah, meyatu dengan dinginnya bumi kemuian masuk hingga pusat bumi.
Tetapi mengapa hanya di sudut yang kecil itu? Benarkah kekuatan sudut itu sedemikian hebatnya. Layakkah aku merasakan hebatnya getaran itu lagi? Layakkah aku beresonansi, menyambut getaran itu?
Ah tidak tidak. Janganlah aku terlalu berharap pada seorang cowok yang hanya akan menyakiti hatiku demikian lagi. Lagipula ibuku pun melarangku untuk merasakan getaran aneh itu. “Reim, menikahlah nanti ketika sudah dewasa dengan yang seiman.” Demikianlah ibuku selalu memperingatkanku. Bagaimana aku dapat mengukur kedewasaanku? Kapankah aku akan menjadi seorang yang dewasa? Mengapa mesti seiman? Kini aku merasakan getaran itu mereda. Terbawa oleh segenap jagat raya yang membawanya kepada Yang Maha Kuasa. Haruskah dua anak manusia dipisahkan oleh perbedaan akan Tuhan – Nya.
Ya. Aku belum siap untuk beresonansi dengan getaran itu. Terlalu hebat. Aku tak sanggup. Aku takut tertinggal, aku takut hancur, aku takut kalau bukan aku yang diharapkannya. Memang bukan aku tampaknya.

***
“Ga, dua hari lagi ulang  tahun Reima, mau diapain ya?” Okta berkata dengan bersemangat.
Siang itu mentari menunjukkan taringnya dengan gembira. Mentari tengah tahun yang cerah dan bersemangat.Sinarnya seakan ikut menyambut datangnya ulang tahun Reima yang ke 19. Tanpa disadari Ivan mengikuti pembicaraan sahabat – sahabat Reima.
“Apa ya enaknya kejutannya,” Ega berfikir keras. Tentu ia menginginkan sesuatu yang sangat meriah untuk sahabatnya ini.
“Hm aku ada ide sepertinya. Hehehe,” teriak Ega tiba – tiba.
            Hari yang dinantikan pun tiba. Semua telah dipersiapkan oleh sahabat – sahabatnya dengan sangat baik dan tanpa cela. Hari ini bulan tampaknya lebih cepat mucul menggantikan mentari. Mereka seperti mendukung rencana kejutan ini untuk segera dimulai.
“Ma, ayo temani aku ke Mc Café Kelapa Gading,” Herman yang menjadi tokoh umpan, berakting dengan baiknya. Herman yakin Reima tidak akan curiga. Wanita satu ini tidak pernah ingat ulang tahunnya sendiri.
Reima hampir tidak bisa menolak ajakan sahabatnya yang satu ini. Sahabatnya ini tahu lebih banyak, mengerti lebih banyak tentang Reima dibanding yang lain. Reima sangat tertutup untuk masalah – masalah pribadinya, terutama tentang cinta. Namun kepada Herman, ia bercerita sedikit tentang pandangannya mengenai cinta. Herman mengerti dalam iam, karena demikianlah ia mesti bersikap didepan sahabat dan pencuri hatinya ini. Dia tahu Reima selalu takut untuk membuka dirinya, Reima bukanlah orang yang sulit untuk disentuh. Walaupun selama ini banyak yang berpendapat demikian. Herman tahu, benteng yang dibangun oleh Reima sangat tebal untuk menutupi dirinya yang sebenarnya yang sangat rapuh.
 “Ada apa tiba – tiba mau kesana?”
“Mau cerita, Ma. Penting,” wajah sok seriusnya Herman dengan mudah menaklukan Reima.
Reima dan Herman menunggangi motor diantara ribuan motor lain yang ada dijalan raya Kelapa Gading. Motor dan mobil saling bersaing untuk mendapatkan sedikit celah sehingga dapat bergerak. Dilema Jakarta, jalan kemana pun kesabaran selalu diuji.
“Duduk di sini dulu ya. Aku pesankan makanan dulu,” kata Herman sesampainya di Mc Café.
Tentu tanpa curiga Reima menurutinya. Tiba – tiba pelayan datang dan menyuruh Reima untuk pindah tempat duduk. Sudah dipesan katanya. Tiga puluh menit. Reima mulai gelisah. Ia paling tidak suka berada sendirian di tempat ramai karena kesepian hatinya makin terasa. Herman tidak terlihat ditempat antrian manapun. Reima bingung, ia mulai kesal. Menunggu merupakan pekerjaan yang paling tidak disukainya. Dia berusaha menelepon namun tak ada jawaban. Setelah sekian kali mencoba menelepon, ponselnya bergetar. Pesan itu dari Herman.
Reima, sorry aku ditelepon abangku untuk segera pulang. Maaf ya.
Bersamaan dengan selesainya Reima membaca pesan dari Herman, ia melihat Ivan duduk tepat di depannya. Getaran itu kembali muncul. Kali inilebih besar. Reima merasa sakit, merasa akan hancur, pipinya terasa panas, bibirnya benar – benar terkatup. Kata – kata yang  ingin dikeluarkannya tertelan dengan mudahnya oleh getaran itu.
“Selamat ulang tahun, Reima,” kata Ivan sambil menyunggingkan senyumnya dan meletakkan kue yang sangat besar dihadapan Reima. Waktu terasa benrhenti bagi Reima. Reima bingung. Dia melihat kue dan Ivan secara bergantian.
“Tiup lilinnya dong, Ma,” Ivan berkata memecah kebingungan Reima, seraya memberikan beberapa bungkusan hadiah.
Tiupan lilin itu menyadarkan ia dan meredakan sedikit getaran itu. Entah kenapa saat itu getaran itu bukanlah getaran tunggal dalam hatinya. Getaran itu telah beresonansi dengan getaran lain di dekatnya. Ya. Itulah getaran yang dimiliki oleh Ivan. Getaran itu kini menghasilkan nada – nada yang hanya bisa dijelaskan oleh kedua hati yang telah saling mengenal. Dalam hatinya, Reima menginginkan sebuah kepastian. Reima takut ini hanyalah sebuah harapan dari semesta yang mengembalikan getaran itu.
“Selamat ulang tahun, Reima,” sekarang keramaian itu benar – benar sudah memecah kesyahduan suasana harmonisasi itu. Sahabat – sahabat Reima yang lain memunculkan batang hidung mereka.
“Gimana, Van. Sudah ngobrolnya? Jadi jawabannya apa?” tanya Okta bersemangat.
Ada hening yang aneh setelah pertanyaan itu. Namun dengan segera Ega memecah kesunyian itu, dan Herman meramaikan kembali suasananya yang sempat benar – benar teriam. Malam itu menjadi malam yang paling bahagia bagi Reima, ia memiliki sahabat. Mereka selalu ada dalam suka dan dukanya. Namun malam itu jugalah yang menjadi malam yang tak terlupakan untuknya.
“Ah..memang bukan aku dan memang seharusnya bukan aku. Kita amat sangat berbeda dalam semua hal,” Reima berkata dengan getir dalam hatinya.
            Beberapa hari kemudian, Herman memutuskan untuk mencari tahu perubahan sikap Reima yang sangat drastis kepada Ivan. Bagaimana pun cara Ivan berusaha menyapa, Reima tetap tak bergeming malah berusaha menghindar.
“Ma, kamu kenapa? Ini tentang Ivan dan Ega” tanya Herman to the point.
Hening.
“Aku senang mereka menjadi sepasang kekasih sekarang,” jawab Reima datar.
“Ivan sayang sama kamu sebenarnya, Ma. Ivan bilang….”
“Aku gak perlu tahu itu sekarang. Kita beda,” potong Reima dengan tegas.
“Beda? Maksudnya? Beda agama?”
“Iya, kita beda. Dengan tidak berhubungan apa pun dengan Ivan, aku akan lebih cepat melupakannya,”
“Kamu gak bisa egois gitu, Ma. Hari esok gak bisa ditebak. Kamu belum tentu bertemu dengannya lagi bukan? Kata orang, cinta itu tidak selalu memiliki. Tetapi bukan berarti kamu harus menjauhi orang yang kamu cintai karena tidak memilikinya,” Herman berkata sambil meneguhkan hatinya sendiri.
            Kata – kata Herman disambut dengan pandangan kosong Reima. Pandangan seorang wanita yang berusaha meneguhkan dirinya. Pandangan itu menunjukkan hancurnya sebagian dari diri Reima dan semakin menebalnya bentengnya. Reima memutuskan untuk tidak berbicara dengan Ivan lagi.
“Seandainya kita dilahirkan pada jalan yang sama, tentu aku tak akan membiarkanmu seperti ini, Ma,” gumam Herman dalam hatinya.

***
“Ma..bagaimana menurut pendapatmu?”
“Reima?”
“Eh iya iya. Gimana tadi maksudnya?” Reima gelagapan. Entah sudah berapa lama ia mengacuhkan pembicaraan sahabat – sahabatnya itu.
“Kamu kok bengong sih?” tandas Adit.
“Hayo ada yang dipikirkan ya?”
“Biasa galau. Pasti mikirin mau nikah kapan, terus sama siapa, dimana. Kejar target untuk tahun besok ia,” berondong Arif memberikan spekulasi yang tidak jelas.
“Iya. Aku sedang memikirkan tahun besok,” seringai ringan Reima kembali muncul.
           
Diam – diam Surya memperhatikan dengan seksama sahabat yang sudah lama dikenalnya sejak ia tahun kedua perguruan tinggi. Dalam hatinya, ia menginginkan sahabatnya itu pun melihatnya. Melihat betapa ia selalu memperhatikannya, melihat betapa ia selalu menantinya, melihat bahwa ia selalu ada untuk Reima. Satu hal yang ia pelajari akan cinta, bahwa cinta selalu dekat, namun kedekatan itu membuatnya tidak terasa. Bukan. Sepertinya bukan tidak terasa, melainkan sudah biasa merasakannya. Tidak ada yang spesial dari hal yang biasa jika kita tidak mencoba merakan ketidakbiasaannya, bukan?

“Nah benar kan kataku. Bagaimana menurutmu rencana kita naik gunung saat tahun baru nanti?”
“Aku setuju, pasti. Butuh ketenangan batin,” senyum Reima kali ini memancarkan kesungguhan.
“Okeh..sudah disetujui. Ayo siap – siap,” kata Adit bersemangat.

***
           
Reima sudah selesai packing untuk persiapan mendaki gunung malam ini ketika ponselnya bergetar. Reima tidak segera membuka pesan itu. Sudah ada puluhan pesan masuk dalam hpnya, tetapi hatinya takut untuk membuka pesan itu. Ada rasa berat menggantung dikepalanya. Dua hari menyambut tahun baru ini mestinya ia bahagia, ia merasa akan kehilangan sesuatu. Reima terduduk dikasurnya. Ia akhirnya memutuskan untuk membuka pesan masuk di ponselnya. Lehernya tercekat ketika ia membaca tiga pesan dari nama yang sama yang  muncul dalam pesan masuknya.
Reima membuka perlahan pesan pertamanya: Reima, apa kabar? Kemudian dengan ragu – ragu pesan kedua ia buka:  Reima aku minta doamu. Hari ini aku akan dioperasi. Ayahku membutuhkan ginjalku. Mudah – mudahan beliau cepat sembuh.Hati Reima berdebar keras, perasaannya berkata akan ada sesuatu yang terjadi. Reima membuka pesan ketiga dan seketika itu ia langsung meninggalkan rumahnya untuk menuju rumah Herman.
“Herman, dimana Ivan sekarang?” Reima memberondong Herman dengan pertanyaan ketika Herman membuka pintu rumahnya.
“Di Bandung, Ma.”
Please, ayo kita kesana sekarang,”
“Ma, ini sudah malam. Besok pasti aku antar. Percayalah Ivan akan baik – baik saja,” kata Herman menenangkan. “Ayo aku antar kamu ke rumah temanku yang cewek biar malam ini kamu menginap di sana.”
            Reima memandangi langit – langit kamar yang asing ini. Ia hanya menuruti perintah Herman untuk berbaring di sini. Ia tidak tahu dimana ia berada. Kamar itu sangat menyeramkan, Rheima merasakan ada kekuatan yang menariknya menuju lubang hitam yang ada disudut kamar itu. Teriakan – teriakan mulai bermunculan dengan mengerikan. Tolong aku, selamatkan aku, kata – kata itulah yang terdengar oleh Reima. Ia berusaha menutup telinga dan matanya namun disisi lain ia harus menahahan desakan untuk terhisap dalam lubang kegelapan.
Reima merasakan tubuhnya menjadi dingin dan mati rasa. Tetapi sebuah suara menyapanya. Detik berikutnya Rheima menatap langit yang penuh bintang. Dikejauhan terdengar ribuan orang riuh rendah bernyanyi dan berpesta seperti menantikan sesuatu. Rheima bangkit dari tidurnya.
“Halo,” tiba – tiba sebuah tepukan hangat mendarat dipundak Reima.
“Hai, Ivan. Kamu baik – baik sajakah? ” sapa Reima kembali setelah menoleh. Reima tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya. Ivan mengenakan baju biasa, kaos dan jeans.
“Iya tentu aku sangat baik. Kamulah yang aku khawatirkan,” jawab Ivan cemas.
“Seperti yang kamu lihat, aku pun baik – baik saja. Oh iya, kita ada dimana?” Tanya Reima polos.
“Sekarang kita ada di atas benteng. Dari benteng ini kita bisa melihat semua kehidupan yang ada,”
“Benteng? Dimana itu maksudnya?”
“Menurutmu, lebih baik di atas, disini atau dibawah sana,” tanya Ivan sambil menunjuk dasar gelap dibelakang mereka.
“Tentu di atas sini. Tapi dimanakah ini? Bagaimana aku dapat melihat Monas dari sini?”
“Entah. Aku juga tidak tahu dimana kita. Aku rasa kita ada di sini karena kuatnya keinginanmu untuk melihat Jakarta Night Festival. Ramai sekali. Keramaian selalu menyisakan sudut – sudut beku yang gelap. Namun pada akhirnya pun sudut itu bisa sedikit terang.”
Ledakan kembang api mengalihkan perhatian mereka berdua. Warna – warni memancar berhamburan di langit Jakarta yang abu – abu gelap. Bulan menyingsing disudut kanan kembang api itu, sinarnya menambah semarak suasana. Riuh rendah ribuan manusia terasa bergema, alunan berbagai jenis musik keroncong, dangdut, rock, bersatu padu membentuk harmoni. Menyambut tahun yang baru. Ya lembar baru telah dimulai. Hati Reima hangat. Reima menoleh sebentar ke sebelah kanannya. Ia menemukan wajah Ivan yang begitu damai. Ia pun menjadi damai. Getaran disudut hatinya bukanlah getaran yang dulu lagi. Ia bisa merasakan getaran itu dan besahabat dengan getaran itu. Getaran itu bukan lagi getaran yang menyakitkan tetapi getaran yang mendamaikan.
“Selamat tahun baru, Reima. Aku selalu sayang kamu Reima. Sejak dulu,” bisik Ivan.
            Reima menguatkan dirinya untuk sekali lagi menoleh ke sebelah kanannya. Pandangannya disambut dengan senyum yang tulus. Senyum itu kini menjadi bagian dari kemeriahan yang tak terucapkan.
“Aku juga selalu sayang kamu, Ivan,” kata Rheima tersipu dan menunduk.
“Jalan kita berbeda Rheima. Tetapi Tuhan tidak pernah melarang untuk mencintai orang yang berbeda. Bukankah cinta itu satu? Cinta itu adalah Tuhan sendiri. Kita bukannya tidak bisa bersama. Kita bisa tetap bersama dalam menjalani jalan yang berbeda ini,”
Rheima menyadari Ivan yang bangkit berdiri, dan mengikuti kemana ia melangkah. Kemudian ia melihat ayah, ibu, adik, teman – temannya melambai kepadanya. Senyuman hangat mereka, canda dan tawa mereka.
“Lihatlah, orang – orang yang kamu cintai sudah menunggumu. Bergabunglah,” kata Ivan sambil menggandeng tangan Rheima.
Rheima merasakan sudut hatinya sudah tidak bergetar, melainkan sangat hangat. Bertahun – tahun ia berada dalam sudut beku itu. Orang – orang yang mencintainya telah menemukannya dan membawanya keluar dari reruntuhan bentengnya sendiri. Rheima tersenyum dengan lebih ringan, tertawa dengan lebih tulus,ia bahagia.

***
            Hampir dua minggu sudah sahabat – sahabat Rheima secara bergiliran menunggu Rheima yang tidak sadarkan diri diruang  ICU RS. Pasar Rebo. Ivanlah yang paling setia menunggu Rheima sadar sejak ia mendapat kabar bahwa Rheima meenjadi korban kecelakaan bus tujuan Garut, Jawa Barat. Ivan mendengar dari orang tua dan teman – temannya bahwa Rheima, Adit, Surya, dan Arif berangkat menuju Garut tepat sehari sebelum malam tahun baru. Namun bus ini menjadi salah satu korban tabrakan beruntun, tidak jauh dari gerbang tol Kampung Rambutan. Rheimalah yang mendapat luka paling parah, sementara teman – temannya yang lain hanya mendapatkan luka ringan saja. Ivan tak henti –hentinya memanjatkan doa.
Disuatu malam,  ia pun mengutarakan perasaannya sambil menyesali keterlambatannya. Pada malam itu pula, Ivan bermimpi bertemu Rheima. Setelah mimpi itu, ia merasa bahwa ada harapan bagi Rheima. Ia selalu menyapa Rheima setiap hari. Mengajaknya berbicara layaknya Rheima dapat membalas obrolannya.
            Pengharapan tak akan pernah sia – sia. Tuhan pun akan membuka pintu pada orang yang tak pernah bosan memohon kepadaNya. Setelah genap dua minggu, Rheima menggerakan tangannya, kemudian membuka matanya. Rheima mendapati Ivan yang berada di sampingnya kemudian Ia menyunggingkan senyumnya. Matanya memancarkan sinar yang baru, senyumnya tulus dari hatinya memancarkan semangat untuk menjalani hidup ini.
“Selamat pagi, Rheima. Selamat datang.”

-SELESAI-





[1] B. B. Triatmoko, SJ , Antara Kabut dan Tanah Basah (Yogyakarta: Kanisius,2005)

Sunday, 29 December 2013

I M P I A N

Masih teringat dengan jelas semuanya. Saat itu aku menggambar sebuah karikatur. Itu tugas dari guru gambar. (Dulu aku suka menggambar. Sangat.) Ketika beliau melihat karikatur ku, beliau berkata “kamu mau ke Jepang?” dengan bersemangat aku berkata “ Iya pak. Saya mau belajar di Jepang suatu hari nanti.” Beliau pun memberi tahu ibuku – yang saat itu menjadi guru SD di sekolah yang sama. Beliau memberitahu sambil terkekeh-mungkin dia kagum akan mimpiku dan dimatanya ada sebuah kepercayaan bahwa suatu hari nanti aku dapat mencapainya. (sepertinya masih kusimpan karikaturnya hehehe)

Hari ini, aku kembali teringat. Setiap saat aku mulai melenceng dan mulai lelah akan cita – cita yang aku impikan itu, selalu saja ada kejadian yang mengingatkan betapa aku mempunyai sebuah mimpi.
Lucu rasanya jika aku mengingat kenapa ingin pergi ke Jepang. Waktu SMP, bukan sejak kecil aku ingin sekali menjadi astronauts. Banyak yang menertawakan karena mereka anggap itu sangat lucu. Kemudian aku memutuskan untuk mencari beasiswa ke Jepang karena menurut asumsiku dulu, Jepang adalah negara yang sangat maju. Lagipula menurut peta, Jepang sangat dekat dengan Amerika. Jadi, setelah aku sekolah di Jepang, bisa saja aku mendapat kesempatan untuk bekerja di NASA. Hehehehe…asumsi seorang anak SMP J

Meskipun itu lucu, cita – cita itu masih hidup hingga kini. Sudah tertanam dalam sekali hingga kelubuk hati dan pikiran ku. Walaupun kadang impian itu layu. Aku merasa semua orang disekitarku selalu mengingatkanku dan mendorong aku untuk terus mencapainya. Aku bersyukur aku masih memiliki cita – cita.

Semalam tadi teman ku bertanya: kenapa seseorang yang sudah bekerja masih membutuhkan sekolah? Aku berkata: kalau aku memang ingin melanjutkan sekolah ke S2. Kalau yang lain mungkin demi karir.. dia bertanya lagi: memangnya untuk apa sekolah hingga S2. Aku berkata: Gak tau. Itu cita-cita dari SMP. Mungkin juga karena aku senang belajar. Dia bilang: keren..aku bahkan sudah lupa cita cita ku apa.
Kadang cita cita itu layu. Mungkin karena lupa untuk disirami. Misalnya waktu lulus polman kemarin. Kebingungan pun melanda apakah aku mesti lanjut kuliah lagi atau tidak. Banyak yang bilang kalau cewek yang pendidikannya terlalu tinggi akan sangat sulit untuk mendapatkan suami. Ya bisa jadi seperti itu. Itu pula yang membuat aku ragu. Namun saat itu dosenku berkata: kalo kamu belum punya rencana nikah, belum punya pacar, ya lanjut aja. Mumpung masih muda.

Kemudian sebuah pikiran pun meresap ke dalam hatiku. Benar juga. Apa yang aku tunggu. Tak ada bukan? Aku pun gak mau menaruh harapan pada seseorang. Jika memang jalan yang diharapkan Tuhan padaku seperti ini, maka aku akan menjalaninya. Bila memang suatu saat nanti Tuhan ingin memakaiku. Aku akan pasrah.

Wish me luck... J

I will work harder

Filosofi Kupu - Kupu

Blog ini berjudul papilion eyes. Nama ini berasal dari nama family kupu-kupu yaitu papilionidae. Jenis kupu – kupu ini paling banyak ditemui daerah tropis dan family ini merupakan salah satu family terbesar, mencakup hingga 550 spesies.

Bagiku sendiri, kupu – kupu merupakan hal yang menarik. Ciptaan Tuhan yang satu ini mampu membalikan ribuan film yang ada di otakku dan memutar kembali film masa SMA hehehe

Aku mulai sangat menyukai kupu – kupu ketika SMA. Saat itu, aku memiliki seorang teman-cowok- yang sangat mencintai binatang. Dia itu multitalented, main gitar, main piano, menyanyi, menjadi seorang conductor orkestra, membuat lagu,menggambar, dan lain sebagainya yang sangat sulit disebutkan. Namun ada satu hal kekurangannya yaitu dalam belajar. Dia tampaknya tidak berminat untuk belajar. Suatu hari kami bertemu diruang musik ketika dia sedang memainkan pianonya dengan sangat piawai. Sejak hari itu, dia sering memintaku untnuk belajar bersama lantran prestasi akademik ku yang katanya cukup bagus. Kebersamaan itu membuatku tahu bahwa dia sangat suka pelajaran biologi dan sebenarnya dia sangat pintar, hanya saja dia tidak tertarik untuk belajar. Dia sering mengajakku jalan-jalan ke kebun binatang jika bosan pada kehidupan sekolah. Suatu hari dia memberiku sebuah gambar kupu – kupu. Ternyata kupu – kupu adalah serangga kesukaannya. Akhirnya dia pindah sekolah ke Bandung ketika menginjak kelas 3 SMA.

Ah..sudah lama sekali ternyata. Namun kenangan itu sangat membekas dan tidak terlupakan. Mengapa dia dapat menyukai kupu –kupu.

Setelah berpisah dengan temanku itu aku mulai berpikir. Tentang kupu – kupu.

Kupu – kupu itu indah.
 Menurut ilmu biologi, kupu – kupu memiliki siklus tertentu yang dinamakan metamorfosis.
Kupu – kupu menjadi sebuah contoh sebuah perubahan.
Dari kecantikan kupu – kupu tersebut, tentu tidak ada yang mengira bahwa dulunya si kupu – kupu adalah seekor ulat.
Ulat yang hidup sebagai hama, dimusuhi manusia dan binatang dan bahkan menjadi momok bagi para petani. Menjadi sumber masalah dari semua komponen. Bahkan anak anak kecil sudah ddidoktrin untuk menjauh si ulat. Tetapi si kupu selalu mau berubah. Dia menjadikan cercaan yang selalu diterima untuk menjadi sebuah dorongan untuk berubah.  Ulat itu pun mengurung dirinya. Mungkin mengevaluasi sikapnya selama ini, mungkin mencoba mencerna semua perkataan dari orang – orang yang telah mengkritiknya.
Setelah berhari - hari, ia mengurung dirinya dalam sebuah ruangan sempit. Ia pun menyadari semuanya. Kesendirian itu..sungguh menyenangkan.

Dan dalam hari – hari yang ia nantikan tersebut, akhirnya ia pun memunculkan dirinya. Penuh perjuangan. Ketika keluar dari kepompong, kupu – kupu tidak boleh dibantu oleh siapa pun karena jika ada yang membantunya,, dia tidak akan berhasil menjadi seekor kupu – kupu. Maka perjuangannya itu pun harus ia lakukan sendirian. Mungkin jika menjadi kupu – kupu, maka kita akan merasakan betapa ragunya dia ketika keluat dari kepompong itu. Apakah ia akan diterima atau malah ditolak lagi oleh lingkungannya. Tidak ada yang tahu. Bahkan dia pun tidak. Tapi keragu – raguan itu tidak membuatnya menyerah untuk menjadi sesuatu yang baru.

Pada akhirnya, tidak ada perjuangan yang sia – sia jika kita lakukan dengan sepenuh hati dan penuh syukur. Kupu – kupu pun dapat memberikan kesegaran baru dengan sayap indahnya dan menjadi bermanfaat bagi bunga – bunga indah yang bermekaran.


Ah..semoga suatu hari nanti bias seperti kupu – kupu itu

はじめまして


私はTheresia Diah Kusumaningrum です. 私のブログは papilioneyes.blogspot.com です。 だけど このブログはいいじゃないです。だって はじめて ブログをつくるします。それから まな をあげます、おねがい。

おらの夢は 日本へいきたう。あそこ にべんきょうします。それで 日本語を べんきょうします。毎日、日本語を読みます。がんばる よ。

よろしく :)

Subscribe to our newsletter