Sejauh
ini semua normal. Aku termasuk siswa yang diingat guru, kata guruku yang paling diingat
guru adalah siswa yang paling baik dan pintar atau siswa yang paling nakal dan
suka buat onar. Tentu sang pembuat onar bukanlah julukan yang tepat buatku
karena sepi adalah teman terbaikku.
Hanya
satu hal terpenting buatku, membahagiakan kedua orang tuaku dan mendapatkan
nilai yang baik. Entah itu satu atau dua karena keduanya saling bersimbiosis, terhubung tanpa alasan.
Aku mencintai orang tuaku tanpa syarat, bukan berarti harus selalu patuh pada
mereka namun aku selalu ingin membahagiakan mereka disetiap aspeknya. Bahkan
ketika ibuku berkata fokuskan dulu untuk sekolah masalah cinta nanti saja,
jawabku dengan patuh, ya.
Sejauh
ini semua normal, bergaul dengan laki – laki hal yang wajar buatku, tidak
dengan perempuan menurutku mereka merepotkan. Kenormalan itu menjadi hal yang
aneh, mungkin karena aku saja yang yang menggapnya normal sementara mereka
tidak.
Hidup
itu normal dan biasa. Sepi itu teman terbaik. Cukup. Sudah baik.
Piano
menjadi bukti, hidup adalah warna, ia merupakan rangkaian nada yang tak pernah
putus, mendayu. Mungkin membekas dihati, mungkin menusuk – nusuk pikiran, mungkin
membawa semua beban terangkat,
mungkin juga hanya lewat. Entah boleh pilih yang mana, semua bebas. Banyak
sedikit pilihan itu disediakan sang pianis, ia menjentikkan jari dengan lembut,
keras, penuh emosi atau tak bersemangat.
Pilihanku
untuk membawa sang pianis bersamaku.
Ledakan
nada dalam tenangnya dawai piano yang berdenting, membawa alam bawah sadarku
menyadari luapan emosi itu, entah marah, sedih, yang paling jelas sang pianis
memainkan deretan nada mayor yang lincah. Di sudut ruangan aku
termangu sendiri, terisolasi bagai berada di dua dunia yang berlainan. Hanya
ada dia dan diriku. Namun sekat padanya lebih tebal, eksistensiku nol, tidak
terjamah, mungkin aku berada di dimensi lain.
Semua
berawal dari nada mayor itu.
Senyum
sumringah selalu kutahan ketika bertemu dengannya, namun ia tak pernah menahan
senyum lebar itu daripadanya, ia biarkan menyinari sedikit waktu pagiku yang
cenderung kelabu. Dentingan hai ringan terdengar bersamaan sinar hangat
wajahnya. Tak sanggup terlalu lama aku memandangi wajah itu.
Ada
apa ini? Dia laki – laki, dia normal, cukup normal, cukup biasa.
Hanya
ada satu perempuan yang menerimaku, menyadari adanya ke-aku-anku, dan cukup
mengerti aku. Tak perlu aku dimengerti oleh siapa pun, sepi sudah cukup
mengerti, sejauh ini masih normal. Sebaris kalimat “ temani aku hari ini
berlatih paduan suara”, kembali membawa takdirku kepadanya. Oh ya? Takdir kah?
Detik inipun baru percaya aku dengan takdir.
“Hai, Di”, sapa mentari siang tanpa
menyengat kulit
Senyum gugup dan semu merah di pipi,
dua jawaban yang mampu kuperlihatkan, yang kuharap itu cukup. Kata sahabatku,
ini namanya cinta. Bagaimana mungkin hanya senyum gugup dan pipi merah yang
merepresentasikan cinta, tidak dapat diterima, tidak masuk akal, dan tidak
normal. Lagipula ia...... ia seminaris1, perwujudan cinta semua
umat, tidak mungkin aku dan ke – aku – an ku memilikinya, tidak pantas.
Membayangkan saja pun sudah hina.
Katanya cinta seperti investasi,
ditanam sedikit – sedikit, akan terasa untungnya di saat yang tepat. Katanya
juga seperti menanam bunga mawar, pupuki dan sirami dengan rutin barulah bunga
itu akan berkembang dengan indah.
Mungkin ini memang takdir, sejak
kapan aku percaya adanya takdir, akupun tak tahu, hingga suatu hari sang pianis
mengajakku belajar bersama. Biologi, topik hangat yang selalu diperbincangkan,
menghafal nama organ tubuh dan menghafal nama latin binatang menjadi frekuensi
yang sama dari perbedaan kami. Papilioninae kesukaannya, selalu digambarnya
dimana pun – buku catatan, buku cetak – serta kapanpun – saat menunggu, saat
tebengong, maupun saat kagum.
Takdir yang tidak disangka namun
menyenangkan. Sejak itu lebih sering ada seringai mentariku di pagi hari, lebih
sering wajahku bersemu merah akibat menyembunyikan senyum sumringah itu. Lagi
kata sahabatku, itulah cinta, jatuh cinta, yang katanya juga berjuta rasanya.
Benar.
Tetapi dia seminaris, hidupnya untuk
umatnya, harusnya aku mendoakannya tetap berada di jalan Nya.
Sudut hati berkata
kehilangannya menjadi petaka, sementara nurani berbisik halus dia tak akan
hilang walau direlakan. Sudut senyum mentari pagi memang hangat menyengat dan
kadang juga menyayat. Denting senar pianonya menyuarakan hatinya.
Nada mayor lagi warna
hari ini, ah tapi kesan minornya lebih banyak tampaknya. Keinginan memang tak
terelakkan, sulit kehilangannya, nurani tetaplah jernih putih.
“Ini untukmu,” katanya
dari balik jendela , seperti biasa, cerah, hangat , berwarna.
“Apa ini?” balasku,
suara parau terkutuk ini membuatku menyesal sepanjang masa.
“Bacalah,” nada ringan
bersahaja, sungguh indah.
Kertas buku penuh
coretan itu, kisah pujangga mencari kata. Kubaca perhalan, tak kuasa menahan
gejolak. Semoga kita bersama, puisi pujangga menemukan akhirnya.
Bukan, ini pasti untuk
wanita dengan suara merdu itu. Sahabatku tidak ambil diam, kemudian memberiku
wejangan dalam. Pujangga telah menuliskan penanya, merayu gadis hatinya, pianis
menjentikkan jari merangkai lagu mendayu buat si manis. Beribu alasan masuk ke
dalam daftar, apa yang membuat nurani berkutat dan hati bertindak.
Cukup sudah. Menimbang
menjadi lelah jika tidak kunjung seimbang.
Pikiran logis tidak
mampu mencapai batas ilahi, ketika nurani bisa mencapai batas, hati menyerah
ikhlas. Kamu milik – Nya, bukan hak manusia. Aku bukannya mengalah, aku hanya
ingin mengalah.
Hari itu papilio
polymnestori keluar dari sela bunga – bunga taman. Keindahannya dapat kutangkap
pula dalam gradasi pensil di atas kertas putih. Memandangi sudah cukup
membuatku bertemu denganmu, membaca ulang syairmu, kembali memandangi kupu –
kupu cantik yang beterbangan. Ah andai memang syair itu untukku, sedikit
rangkaian nada untukku, sungguh aku sudah bahagia.
Setelahnya, aku tidak
pernah normal. Meski kini mentari pagiku sama dengan mentari pagi semua orang,
hangat yang sama, cerah yang sama. Kicau burung pipit menjadi bagian dari
penyemangat hati, sudah cukup. Merapal nama latin pohon, menjadi kenangan
tersendiri. Belajar mendentingkan piano menjadi tak terlupakan. Sungguh rindu
suasana sudut ruangan itu serta obrolan ringan dalam tanpa kata, hanya kau dan
aku.
Sore cerah tanpa awan,
ditambah angin sepoi yang membawa sejuta ceritaku. Semoga satu dua orang
mendengar cerita itu, karena tidak pandai aku menulisnya dalam sajak maupun
rangkaian kata. Aku percaya, cerita angin akan terdengar oleh orang – orang yang
memang ingin mendengar, dan kuharap mentariku pun mendengarnya.
“Hai,” senyum singkat
pemilik suara tergambar jelas dari sepotong kata sapaan lumrah itu.
Dia duduk di sebelahku tanpa kata, dia sudah tahu aku
akan senang hati, meski kadang senang hati itu memang harus disembunyikan. Mataku
memandangnya singkat, kembali menatap lurus, tapi sudut mataku tetap
memandangnya dengan khidmat, teliti, cermat. Beruntungnya wanita.
Kami menatap titik yang
sama, menyatu di titik itu. Dia bercerita keresahan dari setiap hela nafasnya. Kecemasan,
kesedihan dari kerut matanya. Nada tidak ikhlas dalam gerakan tiap nadinya. Bukan
lagi rahasia, prestasinya menurun drastis, entah kenapa. Aku tidak mau besar
kepala, tentu bukan karena aku tak lagi bersamanya menghafal jenis vertebrata. Aku
tak ingin tersenyum saat ini, pada jarak sedekat ini terasa sungguh
menyakitkan. Dia berlalu, pergi ke tempat partner setianya. Rangkaian nada ini,
inilah dia saat ini. Kuharap angin pun bisa membawa tetesan air mata, sekarang
juga.
Musim berganti, tak
perlu ia mengumumkannya terlebih dahulu, semua orang sudah tahu dan tidak pula
ada yang protes mengharap musim lebih. Kuharap pergantian musim ini bukanlah
pergantian semuanya. Sayang sekali, kali ini semua berganti, berputar cepat hingga
tidak kusadari. Tak ingin aku mengakui itulah rangkaian nada terakhir dari sang
pianis, senyuman kecil hangat terakhir dari mentari, syair singkat riang terakhir dari sang
punjangga.
Ku memandangi
punggungnya dari sudut ruangan tempat kami biasa berkomunikasi. Cukup jauh
untuk disadari, hanya saja aku ingin percaya bahwa dia menyadari hadirnya denyut
kecil dalam nadinya, denyutku. Dia berbalik dalam keramaian, memandangiku,
mataku. Cahaya dua buah kelereng bulat memantulkan segenap senyum mentariku. Cahaya
itu tidak untuk perpisahan..
Catatan:
1Kata seminari berasal dari kata Latin `semen'
yang berarti `benih atau bibit'. Seminari berasal dari kata Latin `seminarium'
yang berarti `tempat pembibitan, tempat pesemaian benih-benih'. Maka, seminari
lalu berarti: sebuah tempat [tepatnya sebuah sekolah yang bergabung dengan
asrama: tempat belajar dan tempat tinggal] di mana benih-benih panggilan imam
yang terdapat dalam diri anak-anak muda, disemaikan, secara khusus, untuk
jangka waktu tertentu, dengan tatacara hidup dan pelajaran yang khas, dengan dukungan
bantuan para staf pengajar dan pembina, yang biasanya terdiri dari para imam /
biarawan. Adapun kata `seminaris' menunjuk pada para siswa yang belajar di
seminari tersebut. (sumber : http://yesaya.indocell.net/id766.htm)